STABILITAS POLITIK DAN TINGKAT PERTUMBUHAN EKONOMI PADA MASA REFORMASI
Ilmu politik ialah salah satu cabang filsafat instan yang mangulas tentang tujuan, iktikad hidup, pola serta lembaga hidup bermasyarakat ditatap dari segi pembuatan negeri. Dengan kata lain ilmu politik pula berhubungan dengan hukum, negeri, sejarah, warga, filsafat, sosiologi, etnologi serta ekonomi. Ada pula arti dari ekonomi politik dalam penyusunan ini merupakan konsep ekonomi buat menguasai masalah- masalah politik, yang bisa digunakan buat memandang proses politik ataupun meletakkan dasar- dasar politik buat pembangunan selaku akibat terdapatnya tuntutan- tuntutan politik yang wajib dipadati supaya pembangunan ekonomi bisa berlangsung. Serta analisis kebijakan dengan memencet faktor- faktor ekonomi serta politik itu menampilkan terdapatnya silih pengaruhi antara fenomena politik serta ekonomi.
Semenjak Orde Baru ada garis pemisah antara ekonomi serta politik. Pembelahan tersebut didukung oleh pembagian pekerjaan antara pakar ekonomi di satu pihak serta angkatan bersenjata dipihak lain. Pembelahan antara keduanya sudah pula memunculkan pertumbuhan intelektual yang kurang jujur digolongan pakar ekonomi. Tetapi dalam perkembangannya terus menjadi santer terdengar seruan supaya dicermati pula faktor- faktor non- ekonomis, tercantum pula dalam perihal ini merupakan aspek politik
Pada tahun 1974, setelah peristiwa Malari (bulan Januari) Indonesia memperdebatkan tentang perlunya diperhatikan “faktor-faktor non-ekonomis”. Perdebatan itu sesungguhnya sudah sejak 1968, pada waktu pertama kalinya dalam sejarah Orde Baru yang membicarakan masalah korupsi di Indonesia. Secara beruntun media massa dan dunia akademis gencar membahas akibat-akibat non-ekonomis dari kebijaksanaan ekonomi terbuka yang dinilai pada tahun 1966- 1967. Krisis Pertamina, Bulog, Palapa dan yang lainnya menandakan bahwa masalah ini hangat dibicarakan sepanjang tahun 1970-an. Akhirnya, menjelang tahun 1980 Presiden Soeharto menyampaikan amanat agar dalam tahun-tahun mendatang bangsa Indonesia melaksanakan lebih sungguh-sungguh “demokrasi ekonomi” dan “demokrasi politik”. Oleh karena itu secara sadar memang telah ditanamkan pemisahan antara “dunia ekonomi” dan “dunia politik”. Sesungguhnya pemisahan itu merupakan bagian dari reaksi terhadap permainan politik yang berlebihan pada masa Orde Lama. Pemisahan ini berpengaruh terhadapa stabilitas politik dan ekonomi pada masa Orde Lama.
Stabilitas merupakan sesuatu keadaan dari suatu sistem yang komponennya cenderung ke dalam, ataupun kembali kepada sesuatu ikatan yang telah mantap. Stabilitas sama dengan tiadanya pergantian yang mendasar ataupun kacau di dalam sesuatu sistem politik, ataupun pergantian yang terjalin pada batas- batas yang sudah disepakati ataupun sudah didetetapkan. Stabilitas politik bisa dimengerti selaku keadaan dimana tidak terdapat munculnya pergantian mendasar ataupun apa yang revolusioner dalam sistem politik( pemerintah), ataupun pergantian yang terjalin pada batas- batas yang sudah didetetapkan.
Bagi Harold Crouch, stabilitas politik di tandai dengan dua perihal. Pertama, terdapat pemerintahan yang normal dalam makna bisa memerintah bertahun- tahun ataupun bisa melaksanakan programnya cocok dengan batas-batas yang sudah didetetapkan. Kedua, sistem pemerintahan normal, dalam makna sistem tersebut sanggup menerima perubahan- perubahan yang terjalin dalam warga dengan tidak merubah sistem pemerintahan yang telah ada sehingga bisa disimpulkan stabilitas politik merupakan: Pola perilaku serta tingkah laku segenap komponen sistem politik yang membangun kelestarian lapisan struktur serta ikatan kekuasaan sehingga menjamin daya guna pemerintahan.
Efektivitas pemerintahan akan berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi suatu negara karena politik dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang erat Untuk lebih memperjelas Haryadi (1991) menjelaskankan bahwa paling tidak terdapat tiga teori yang kiranya dapat menjelaskan mengenai hubungan politik dan ekonomi:
1. Asimetry
Ekonomi Politik mencoba menjelaskan tentang ketidakseimbangan atau ketimpangan yang terjadi antara bangsa-bangsa dan masyarakat dan juga penempatan pola-pola yang menjaga atau memelihara atau mengubah ketimpangan ini.
2. Interplay
Ekonomi politik mencoba menjelaskan tentang saling pengaruh- mempengaruhi antara ekonomi dan politik. Model ini menganggap bidang politik dan bidang ekonomi sebagai sesuatu yang secara fungsional dapat dibedakan, tetapi mempunyai pengaruh resiprokal.
3. Deterministik
Ekonomi Politik mencoba menjelaskan tentang bagaimana politik menentukan aspek-aspek ekonomi dan bagaimana institusi-institusi ekonomi menentukan proses-proses politik. Model ini memberikan gambaran yang pasti mengenai permasalahan yang ada serta menunjukan dengan jelas apa yang harus dilakukan atau diubah
A. Stabilitas Politik Indonesia Pada Masa Reformasi
Reformasi tiba-tiba menjadi populer di negara Indonesia. Bahkan yel-yel dimana-mana meneriakan perlunya segera kata itu di implementasikan. Istilah "Reformasi" berasal dari kata inggris, Reform (Latin: reformare) yang berarti : perbaikan, pembaruan, pemulihan kembali. Dalam kontek Reformasi yang dituntut dan dilakukan oleh mahasiswa dan sebagian besar masyarakat Indonesia, maka Reformasi adalah pembaruan. Tentu saja segera muncul pertanyaan : Reformasi hendak memperbaharui apa dan menjadi bagaimana?
Tahun 1998 menjadi saksi runtuhnya struktur negara dan akhir dari represi ideologi serta hegemoni rezim Soeharto. Kekacauan ekonomi di Indonesia diikuti dengan krisis politik yang menyebabkan berkurangnya kekuasaan dan pada akhirnya pengunduran diri presiden Soeharto, setelah tiga dasawarsa memerintah Indonesia dengan cara 'kekeluargaan'. Pendekatan-pendekatan 'konsesur nasional', 'kontak sosial', dan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan rezim Soeharto dipertanyakan secara mendasar. Legitimasi negara diragukan, karena itu ada kebutuhan akan adanya pemerintahan baru yang dipercaya oleh rakyat.
Ada beberapa kemiripan yang nyata antara Reformasi Indonesia saat ini dengan percobaan selama dasawarsa Demokrasi Liberal pada tahun 1950-an. Ekonomi begitu mudah bergejolak, angkatan bersenjata menjadi kekuatan politik potensial, parlemen dan eksekutif terjebak dalam permainan saling menjatuhkan yang menyebabkan ketidakstabilan, konstitusi tidak cukup jelas dalam menyatakan pertan dan hubungan-hubungan antara pemegang kekuasaan dan lembaga-lembaga negara, dan kekacauan regional mengancam kesatuan dasar dari negara.
Mundurnya Soeharto dan dilantiknya pemerintahan sementara Habibie Membuka kesempatan bagi berlangsungnya Reformasi demokratis di Indonesia. Untuk membangun momentum demokratis, beberapa perubahan mendasar pada sistem politik telah dimulai melalui beberpa langkah yang bersifat sementara, langkah-langkah ini termasuk membuat amandemen UUD untuk memperkuat peran parlemen, mengesahkan peraturan baru tentang otonomi daerah yang telah diperluas baik ruang lingkupnya dan juga tingkat partisipasi poltik di tingkat daerah, lokal, dan pembatasan masa jabatan presiden.
Ada yang layak dipuji dari pemerintahan Habibie, untuk usahanya mencabut undang-undang anti Subversif (UU No. 11/PNPS/1963 dan Undang-undang korupsi (UU No. 3/1971) yaitu diganti dengan UU No. 31/1999). Selama pemerintahan Habibie (22 mei 1998 sampai dengan 14 Oktober 1999), telah dikeluarkan 67 Undang-undang, 3 peraturan pemerintah, 263 Keputusan presiden dan 31 Intruksi presiden. Keseluruhan itu dimaksudkan sebagai bagian dari solusi untuk mengatasai problem yang berlangsung dalam situasai krisis yang terjadi saat itu. Disadari atau tidak, banyak kemajuan yang telah dicapai, sehingga pada waktu terjadinya peralihan kekuasaan dari presiden Habibie kepada presiden Abdurrahman Wahid (Oktober 1999), kondisi politik dan pemulihan ekonomi berlangsung dengan baik.
Ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati soekarno Putri, dilantik masing-masing sebagai presiden dan wakil presiden RI periode 1999- 2004, sisa-sisa persoalan warisan Soeharto sebelumnya dan pemerintahan Habibie sesudahnya, belum semua tertangani dengan baik, ditambah sejumlah persoalan yang semula seolah-olah sudah selesai, namun agenda persoalan terlihat semakin rumit dan banyak, seperti kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), pemulihan ekonomi, disintegrasi bangsa, lemahnya hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM), semua itu ibarat benang kusut, dan untuk memecahkannya harus diurai satu persatu.
Dari sisi dimensi rasionalitas yang terpenting tentu saja supremasi hukum. Maka jika kita mengatakan tak satupun demokrasi yang mampu jalan tanpa supremasi hukum, itu sekaligus berarti bahwa berjalan tidaknya demokrasi oleh rasionalitas dan prediktibilitas keenam lembaga demokrasi.
Tidak kalah pentingnya juga ada faktor kelemahan bawahan duet Abdurrahman-Megawati itu sendiri. Kelemahan bawahan ini mencakup tempramen atau tingkat intelektualitas maupun ketajaman modal Reformasi mereka, baik lantaran visi maupun paktek buruk rezim-rezim sebelumnya. Pada kompromi dan rekonsiliasi dalam penyusunan kabinet Persatuan Nasional yang lebih cenderung menafikan tuntutan Reformasi dan jelas mengabaikan tuntutan urgensi penyelesaian atau beban kriris multidimensi yang terus mendera bangsa kita. Gabungan kelemahan itulah yang hingga kini terus menyulitkan tercapainya supremasi hukum di negara kita. Itulah sebabnya pemerintahan Gus Dur belum mampu mencatat kemajuan yang berarti, baik di bidang politik, ekonomi dan hukum.
Keberhasilan yang dicapai pemerintah Abdurrahman-Megawati adalah menahan laju pemburukan krisis multidimensi, termasuk didalamnya proses disintegrasi bangsa. Prestasinya baru sampai pada menahan keterjerumusan lebih lanjut. Meskipun demikian, pemerintahan keduanya memiliki beberapa kelebihan seperti di utarakan, memiliki legitimasi yang kuat, yaitu bahwa kedua pimpinanya terpilih melalui prosedur demokrasi yang kuat. Pemerintahan ini jelas memenuhi apa yang di sebut sebagai keabsahan prosedural pemerintahan.
Keberhasilan pertama pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah bertahan dalam format politik yang di buat pemerintahan Habibie. Kegagalan Gus Dur untuk membangun suatu pemerintahan yang efisien dengan administrasi yang tegas mungkin dapat dianggap sebagai kegagalan yang paling besar terutama bila kita membandingkannya dengan pemerintahan Soeharto.
Hingga saat di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri menggantikan pemerintahan Abdurrahman Wahid yang diberhentikan secara konstitusional oleh MPR tahun 2001, belum juga terlihat langkah nyata dalam upaya perbaikan stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi. Adapun keberhasilan pemerintahan Megawati adalah dapat menyelenggarakan pemilu presiden secara langsung, dan demokratis.
Sejak jatuhnya Soeharto dari jabatan presiden tahun 1998 sebagian besar rakyat Indonesia beranggapan bahwa pemilu perlu diadakan secepatnya untuk memecahkan semua persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia. Keinginan itu kemudian dikukuhkan oleh MPR dalam SI MPR Nopember 1998 meskipun begitu, semua orang paham mengadakan pemilu bukanlah hal mudah, karena banyak hambatan dan tantangan yang akan dihadapi. Kita merasa bersyukur bahwa bangsa Indonesia telah mampu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilu 7 Juni 1999, kendati ditengah berbagai kekurangan dan ketidak sempurnaan.
B. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Pada Masa Reformasi
Masa pasca Orde Baru atau yang dikenal dengan masa Reformasi merupakan anti klimaks dari akumulasi berbagai persoalan krisis ekonomi hingga persoalan krisis kepercayaan terhadap pemerintah yang tidak kunjung juga menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah kemudian terefleksi dengan munculnya gejolak aksi massa seperti demo-demo yang dilakukan oleh mahasiswa yang akhirnya memaksa presiden Soeharto untuk meletakkan jabatan kepresidenannya, yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan sumpah jabatan oleh BJ. Habibie dan kabinet reformasinya mewarisi keadaan ekonomi yang benar-benar terpuruk sebagai akibat krisis ekonomi yang bermula pada masa Orde Baru.
Dr. Mochtar Pabottingi dalam talk show di AN teve Kamis siang 21 Mei 1998 mengatakan, gerakan reformasi pada hakikatnya menuntut perubahan total rezim Orde Baru. Baik sistem Politik, ekonomi, sosial, dan pemerintahan. Pendeknya, reformasi yang membuat segalanya lebih baik dibanding sebelumnya.
Berawal dari krisis moneter yang melanda Indonesia, Juli 1997, istilah reformasi mulai digelindingkan terutama dalam kaitannya dengan kebangkitan kembali Indonesia dari krisis moneter. Krisis itu dipicu oleh jatuhnya Baht Thailand terhadap nilai tukar US $, sehingga pada 21 Juli 1997 nilai tukar Rupiah yang semula Rp 2500 per US $ merosot menjadi Rp 2650, untuk seterusnya semakin melemah hingga mencapai Rp 15.000 per US $
Krisis seperti tak ingin berhenti. Pada 16 September 1997, pemerintah terpaksa mengumumkan menunda mega proyek senilai Rp. 39 triliun didalam upaya "mengencangkan ikat pinggang". Meskipun demikian, laju US $ makin tak terbendung.
Kehabisan akal mengatasi krisis itu, akhirnya pemerintah secara berani memutuskan meminta bantuan IMF. Tak lama harus menuggu, IMF memberi persetujuan membantu Indonesia keluar dari kemelut ekonomi dengan paket bantuannya senilai US $ 43 miliar yang akan dicairkan secara bertahap.
Paket IMF ternyata menuntut korban. Pada 1 Nopember 1997, pemerintah mengumumkan likuidasi (pencabutan izin usaha operasi) 16 Bank swasta yang dinilai tidak sehat. Inilah titik awal lahirnya krisis kepercayaan masyarakat pada lembaga keuangan nasional.
Ketika diumumkan pengunduran diri presiden Sooeharto dari jabatannya, kurs tengah rupiah terhadap US $ langsung membaik dari Rp. 12.250 menjadi Rp.10.000, walaupun demikian pada minggu terakhir bulan Mei 1998 kurs Rupiah tetap berada pada kisaran Rp.10.500 - Rp.10.700 untuk 1 US $ .57
Pada awal tahun 1998 tingkat inflasi mencapai angka 20 persen, kenaikan inflasi kelompok makanan menunjukkan kenaikan tertinggi yang pernah dialami Indonesia sejak Pelita I, yakni lebih dari 15 % pertahun. Hasil estimasi dampak krisis terhadap perekonomian makro yang terpenting adalah : pertama pertumbuhan GDP riil dalam tahun ini antara –4,46% hingga –6.05%, dan dalam jangka panjang (Repelita VII) antara 2,53 % hingga 3,82% pertahun. Kedua konsumsi riil dalam jangka panjang akan membaik dan menurun dalam jangka pendek yang mengakibatkan membaiknya kesejahteraan masyarakat. Ketiga pengeluaran pemerintah secara riel turun drastis yaitu antara –14 % hingga –15% dalam jangka pendek dn belum bisa pulih dalam jangka panjang. Dan keempat akibat krisis moneter rupiah terdepresi sekitar 30 % hingga 40% dari awal tahun 1998.
Yang jadi permasalahan utama dalam lemahnya perekonomian di Indonesia adalah masalah fundamental ekonomi Indonesia yang masih belum kuat. Pada sisi makro, persoalan yang mendasar adalah adanya ketidakseimbangan internal maupun eksternal yang menjadi fundamental ekonomi Indonesia, ekonomi biaya tinggi, manajemen “setan” dari lembaga keuangan perbankan, kelemahan daya asing pengusaha domestik dan tidak transparannya manajemen pemerintahan merupakan permasalahan fundamental ekonomi Indonesia.
Pokok-pokok permasalahan tersebut diagendakan dalam beberapa paket Reformasi ekonomi dengan tujuan memperkuat fundamental ekonomi Indonesia yang diaplikasikan baik dalam skala makro ataupun mikro. Pada skala makro agenda reformasi ekonomi meliputi kebijakan fiskal, moneter dan neraca pembayaran. Sedangkan disektor mikro mencangkup aspek-aspek perbankan, dunia perbankan dan seterusnya.
Indonesia dalam pembangunan ekonominya, tidak pernah lepas dari bantuan berbagai pihak internsional, bantuan tersebut selain berasal dari negara-negra sahabat juga berasal dari lembaga internasional yang berkompeten dalam hal penyediaan bantuan bagi Indonesia seperti penamaan modal asing, penyediaan porto folio investasi maupun berupa hutang luar negeri yang berbentuk pinjaman hutang lunak atau hibah
Selama masa Orde Lama – dikarenakan oleh kepentingan politik – usaha untuk mendapat pinjaman luar megeri khususnya negera-negara barat selalu dibatasi, hal ini disebaakan pembangunan politik pada saat itu dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan yang utama.
Adapun pada masa Orde Baru telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan, yang semula lebih terkonsentrasi pada keberhasilan pembangunan politik sebagai tolak ukur, kini lebih menjadikan keberhasilan pembangunan ekonomi sebagai tolak ukur. Perubahan tolak ukur ini jelas memiliki konsekwensi yang berbeda dengan masa pembangunan Orde Lama.
Kebalikan pada masa orde lama, maka pada masa Orde Baru pinjaman luar negeri dan pemasokan modal asing menjadi prioritas dalam kebijaksanaan nasional, bahkan sejak awal Repelita I pinjaman luar negeri telah dipandang sebagai faktor pendorong pembangunan yang sangat penting, keyakinan pemerintah mengenai penting dan efektifnya peran bentuan luar negeri dapat dilihat dari terus meningkatnya jumlah bantuan untuk Indonesia sejak dimuainya Orde Baru (1969-1970). Pada saat itu penerimaan dana pembangunan yang berasal dari pinjaman luar negeri adalah sebesar Rp. 9 milyar, yang pada tahun berikutnya (1970-1971) meningkat menjadi Rp. 119 milyar. Pada tahun 1991/1992 angka pinjaman tersebut mencapai puncaknya yaitu sebesar 10, 409 triliun. Sedangkan puncak dominasi bantuan luar negeri ini terjadi pada tahun
anggaran 1988/1989, yaitu mencapai 81,52 % dari total anggaran pembangunan negara.
Terus meningkatnya bantuan pembangunan Indonesia, yang pada tahun 1992 mencapai US $ 66,5 milyar atau sekitar Rp. 139,65 triliun menjadi US $ 118 milyar pada akhir september 1997, yang terdiri atas hutang pemerintah sebesar US $ 52 milyar dan swasta sebesar US $ 65,6 milyar.62 hal ini menunjukan gejala bahwa pemerintah sebagai motor penggerak pembanunan nasional begitu tergantung anggarannya kepada bantuan luar negeri. Kebutuhan akan pinjaman dan hibah dari luar negeri secara pasti sangat besar, khususnya dalam upaya mengatasai masalah kemiskinan, pembiayaan prasarana daerah-derah tertinggal, dan infrastruktur dasar yang tidak mungkin dibiayai oleh swasta untuk menutupinya. Dalam hal ini pemerintah Indonesia banyak menerima pinjaman dan hibah yang termasuk dalam kategori pinjaman lunak dari lambaga-lembaga keuangan internasional seperti IBRD (bank dunia), IDB, ADB dan IDA.
Lembaga-lembaga keuangan internasional di atas ditambah dengan negara- negara donor untuk Indonesia bergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) sejak tahun 1992, yaitu sebagai sebuah kumpulan dari negara-negara yang memberi bantuan ekonomi kepada Indonesia yang dikoordinasi oleh Bank Dunia sudah dibubarkannya Inter Government Group on Indonesia (IGGI) sebagai suatu lembaga serupa.
C. Hubungan Stabilitas Politik dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada masa Reformasi
Selama Orde Reformasi Indonesia masih mengalami berbagai keterpurukan hampir disegala bidang dan sendi kehidupan. Kebebasan di berbagai bidang memang cukup dinikmati masyarakat. Termasuk kebebasan melakukan dan menyebarkan berbagai kemaksiatan melalui media massa. Utang Indonesia pun bukannya mengecil, masih sekitar Rp 1300 trilyun. Pemberantasan korupsi masih menjadi perbincangan ideal, dan bahkan semakin menyebar, merata, ke pelosok- pelosok, sejalan dengan program otonomi daerah. tingkat pengangguran masih tinggi dan melangit. Angka kemiskinanpun masih cukup tinggi.
Konon, menurut Departemen Sosial, sebanyak 15,8 juta penduduk Indonesia tergolong fakir miskin pada tahun 2003. Jumlah tersebut sekitar 42,4 persen dari seluruh populasi penduduk miskin 37,3 juta jiwa tahun 2003.
Presentase tersebut menunjukan secara rata-rata dari setiap 100 orang penduduk miskin, 42 orang diantaranya, masih tergolong fakir miskin. Dijelaskan fakir miskin adalah mereka yang pendapatannya masih dibawah normal, yaitu kurang dari 1 US $ perhari. Sedangkan, pendapatan antara 1-2 US $ perhari tergolong sebagai penduduk miskin. Sedangkan yang dikatakan sejahtera, bila mereka sudah berpenghasilan diatas 2 US $ tiap harinya.
Angka-angka ini tentu masih perlu dipertanyakan, mengingat standar kemiskinan yang diterapkan. Jika seorang berpenghasilan 2 US $ (sekitar Rp 17,000) perhari dikatakan sejahtera, maka angka ini tentu sangat rendah untuk dearah Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bagaimana jika ia mempunyai tanggungan keluarga, dan sebagainya. Kenyataannya, masih begitu banyak penduduk yang merasakan berbagai kesulitan memenenuhi kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.
Liberalisasi di bidang ekonomi, dengan alasan privatisasi, ternyata dimanfaatkan dengan baik untuk melakukan penjualan aset-aset strategis milik negara, seperti BCA, Indosat, dan sebagainya. Program liberalisasi ekonomi ala IMF, menurut pememang hadiah Nobel, Joseph Stiglitz, dikenal dengan Four- Step Program. Pertama, privatisasi aset-aset negara; kedua, liberalisasi pasar modal; ketiga, penerapan harga berdasarkan pasar; dan keempat, adalah penetapan perdagangan bebas. Program-program itulah yang dikritiknya habis- habisan. Untuk Indonesia, ujung-ujungnya adalah begitu banyak aset-aset strategis milik negara dijual, angka kemiskinan bertambah, dan juga semakin banyak kebanjiran barang impor.
Hal tersebut terjadi karena pembangunan politik yang dijalankan Orde Baru bukanlah sebagai upaya transformasi politik (melalui desentralisasi dan demokratisasi), melainkan merupakan bentuk “rekayasa politik” melalui negaranisasi (sentralisasi, birokratisasi, korporatisasi, regimentasi, depolitisasi dan represi) untuk mengendalikan masyarakat dan mencipta-kan stabilitas politik. Sejak awal pemerintah, melalui doktrin Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan), selalu menegaskan bahwa stabilitas politik merupakan prasyarat pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan pemerataan.
Ada anggapan, sebagian besar kelemahan telah timbul karena selama Orde Baru hampir seluruh kekuasaan yang efektif ada di tangan eksekutif. Partisipasi rakyat dalam politik dipangkas melalui kebijakan massa mengambang, jumlah partai politik amat dibatasi, sedangkan independensi anggota DPR selalu terancam risiko recall. Seluruh mesin pemerintahan dijalankan melalui birokrasi yang meluas dan menghunjamkan akarnya hingga ke pemerintahan tingkat desa. Segala sesuatu diatur secara sentral dari Jakarta, inisiatif dari bawah tersingkir oleh manajemen yang bergerak dari atas ke bawah seperti garis komando militer, sementara itu reaksi sosial-politik dari kelompok-kelompok masyarakat dihadapi dengan kekuatan aparat keamanan dan bukannya melalui dialog dan negosiasi politik.
Semua keadaan itu dianggap sebagai "biaya" yang harus dibayar untuk mendapatkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi lambat laun ketahuan juga. Pertumbuhan ekonomi tidak membawa manfaat langsung untuk masyarakat luas, karena sumber daya ekonomi dikuasai secara terkonsentrasi pada beberapa kalangan yang dekat kekuasaan Soeharto, melalui lisensi khusus atau hak monopoli. Stabilitas politik lambat laun terasa sebagai rumah besar yang bersih dan lengang karena penghuninya dilarang berbicara keras atau tertawa lepas.
Dari ketiga teori hubungan politik dan ekonomi yang dijelaskan oleh Arbi Sanit, teori yang ketigalah yang paling sesuai dengan kondisi Indonesia pada masa Reformasi, yaitu teori deterministik, bagaiman ekonomi mempengaruhi politik dan stabilitas politik pun tentunya amat berpengaruh terhadap meningkatnya dan tercapainya pertumbuhan ekonomi.
Sumber Tulisan :
Crouch Harold, Perkembangan Ekonomi & Modernisasi, Jakarta : Yayasan Pengkhidmatan, 1982
Gunherani, Dewi, Tinjauan Terhadap Lembaga Keuangan Internasional Slam Pembiayaan Pembangunan Nasional, Sarana kajian Informasi Perbankan, edisi Jan-Feb 69/1998, IBI
Haryadi, “Ekonomi Politik Pembangunan : Sebuah Ragangan Teoritik” dalam Jurnal Ilmu Politik No. 8 Jakarta : AIPI, 1991
Marbun, B.N, Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, Cet. I
Muladi, Demokratisasi, Hak asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta : The Habibie Center, 2002, Cet. I
Rauf, Maswadi, Agenda Masalah Pasca Pemilu, Bandung : Rajawali Press, 1999
Romadhon Syahrul. 2006. Hubungan Stabilitas Politik Dan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Pada Masa Reformasi. Skripsi. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Sjahrir, Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik, Jakarta: Yayasan obor Indonesia
ST. Sularto (ed), Menyelamatkan Masa Depan Indonesia, Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Gus Dur-Mega, Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2000